Al Tanf adalah nama daerah di perbatasan Syria dan Iraq, sekitar 280 km kearah timur dari Damascus. Untuk mencapai daerah ini diperlukan sekitar 5 jam perjalanan darat dari Damascus melalui padang pasir yang sangat gersang. Di daerah yang benar-benar secara harfiah tidak bertuan ini – sudah diluar Syria tetapi belum masuk Iraq – sekitar 850 saudara-saudara se-iman kita keturunan Palestina tinggal sejak terjadi kekacauan di Iraq beberapa tahun silam.
Orang tua mereka dahulu terusir dari negerinya – Palestina, ketika Israel mendudukinya satu generasi yang lalu; kini mereka beserta anak-anaknya sekali lagi terusir dari tanah air keduanya ketika sekutu Israel – Amerika – memporak-porandakan Iraq kemudian mendudukinya pula.
Mungkin karena jumlah mereka yang dianggap tidak terlalu besar, dan di daerah antah berantah yang tidak bertuan – membuat mereka mudah dilupakan dan seolah bukan menjadi urusan siapa-siapa. Tidak satupun negara arab mau menampung mereka dan tidak pula mau mengakui sebagai warga negaranya.
Kemarin (Ahad 26/07/09) Alhamdulillah saya bergabung dengan aktifis-aktifis dari Sahabat Al-Aqsha, KISPA dan LSM IHH – Turki berhasil mencapai camp pengungsi ini untuk ikut dapat merasakan kepedihan yang dirasakan oleh saudara-saudara seiman ini.
Mereka adalah orang-orang yang terhormat dan dahulu professional di bidangnya. Ada accountant, guru/dosen , insinyur dan berbagai profesi lainnya – namun hanya karena mereka tidak memiliki secarik kertas – yang namanya passport, sebagai bukti bahwa mereka warga dari suatu negara yang berdaulat, maka kini mengalami nasib terlunta-lunta bersama anak-anaknya hingga waktu yang belum jelas sampai kapan.
Yang mengharukan dari camp pengungsi ini adalah sikap penghuninya yang sangat menjaga kehormatan sebagai umat yang beriman yang hanya mengantungkan segala sesuatunya hanya kepada Allah semata. Dalam kondisi serba keterbatasan tinggal di camp pengungsi, mereka masih berusaha maksimal menghormati tamu-tamunya – sampai tamu-tamu ini merasa malu sendiri.
Mereka yang mendapatkan jatah rata-rata satu tenda per keluarga, berlomba – lomba mengundang kami yang jumlahnya belasan orang untuk singgah di tenda-tenda mereka untuk ikut menikmati masakan mereka hari itu. Kami datang dengan tidak membawa sesuatu yang berarti dari sisi materi, namun mereka menyambutnya dengan semangat persaudaraan yang luar biasa.
Bukan hanya orang-orang dewasanya, anak-anak mereka yang serta merta berkumpul di tenda yang difungsikan sebagai masjid – tidak nampak kesedihan mereka, tidak pula keluar sedikitpun keluh kesah mereka atas segala penderitaannya sebagai pengungsi. Mereka hanya ingin bermain-main sepuasnya dengan tamu yang sangat langka - yang mau datang bersusah payah ke daerah ini.
Anak-anak ini rata-rata seusia anak-anak kita, paling banyak pada usia balita. Sebagian yang lain dibawah sepuluh tahun. Yang usia remaja perempuan - tidak boleh keluar dari tendanya karena rombongan yang datang kali ini seluruhnya laki-laki. Tidak kebayang kita ketika melihat keceriaan mereka dalam pengungsian ini, bayangkan bila kita yang mengalaminya – bayangkan bila diri kita bersama anak-anak kita yang harus tinggal di tempat yang seperti ini. Tempat yang tidak tumbuh satu tumbuhan-pun, tempat yang tidak satu negara-pun mengakui ini wilayahnya dan otomatis tidak mau pula mengakui warga yang tinggal disini sebagai warganya.
Berada bersama anak-anak yang polos ini, terbersit dalam pikiran – bagaimana kita bisa membantu mempersiapkan masa depan mereka ?, ketika hal ini kami tanyakan kepada mereka, jawabannya yang terbaik bagi mereka adalah menjaga mereka tetap berkumpul bersama orang tua-orang tua mereka. Artinya solusi bagi anak-anak ini, harus terkait dengan solusi bagi orang tua mereka.
Untuk membantu mereka yang terbaik adalah apabila kita memfasilitasi mereka untuk bisa pergi ke suatu negara dimana mereka dapat dianggap sebagai warganya ; kalau ini terlalu jauh dari kemampuan kita, kita tetap bisa membantu mereka dengan pengumpulan dana yang di Indonesia bisa kita salurkan melalui Sahabat Al Aqsa dan KISPA yang kini memiliki jalur langsung untuk make sure dana bantuan Anda sampai ditangan mereka.
Saudara-saudara seiman ini lagi sangat membutuhkan bantuan kita – meskipun tidak satupun kata minta di-belas kasihani terucap dari mereka. Harapan mereka untuk bisa bersama kita ini hanya terucap dari anak-anak mereka ketika bus kami perlahan meninggalkan camp, anak-anak ini berteriak dengan penuh harap…mataa ta’uudu…mataa ta’uudu…mataa ta’uudu marratan tsaniya…kapan engkau balik, kapan engkau balik, kapan engkau balik untuk kedua kalinya… Insyaallah kami akan datang kembali anak-anakku…L.